Orang Aceh khususnya dan masyarakat di daerah Aceh umumnya memiliki kesadaran sejarah yang amat kuat. Mereka cenderung mengingat dan membanggakan masa lalu yang pernah gemilang, makmur, maju, di samping ada pengalaman pahit tetapi telah melahirkan tonggak-tonggak sejarah yang bermakna besar bagi mereka dan bangsa Indonesia.
Masyarakat Aceh masa kini seolah-olah ingin saja bercermin kembali pada masa lalu itu, antara lain dengan cara mempelajari kembali karya-karya tulis yang pernah ada tentang masyarakat dan kebudayaan Aceh. Tonggak sejarah dan pengalaman yang amat berharga bagi mereka adalah yang bermuatan pengetahuan dan nilai-nilai yang berkembang setelah masuknya ajaran Islam ke daerah itu.
Melalui proses enkulturasi semua itu merasuk ke dalam berbagai aspek kehidupan. Akhirnya mereka miliki sebagai unsur identitas yang terwujud sampai masa kini.
Serambi Mekah Aceh
Mereka sangat membanggakan bahwa daerah Aceh adalah gerbang pertama masuknya ajaran Islam di Nusantara ini, yang berlangsung sekitar abad ke 12 – 13, bahkan ada ahli sejarah yang menyatakan pada abad pertama Hijriah. Kebanggaan itu menjadi semakin dalam dengan diberikannya julukan ‘Serambi Mekah’ tadi bagi daerah Aceh.
Julukan itu dirasakan sebagai lambang kedalaman agama Islam yang dimiliki masyarakat Aceh, di samping karena letaknya yang strategis dalam rangka menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Julukan itu diberikan karena daerah Aceh menjadi tempat persinggahan para jemaah asal Nusantara yang akan pergi ke dan kembali dari Mekah. Sekembalinya dari Mekah di antara jemaah itu ada yang menetap sementara di Aceh untuk memperdalam pengetahuan agamanya sebelum kembali ke kampung halamannya.
Pada masa silam masyarakat Aceh terbagi ke dalam sejumlah kerajaan kecil, misalnya kerajaan lndrajaya, lndrapura, lndrapatra, Pasei, Benua, Daya, Peureulak, ldi, Pidie, Meulaboh, Linge, dan lain-lain. Kemudian kerajaan-kerajaan itu berhasil disatukan menjadi Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan-kerajaan itu memiliki adat-istiadat yang bervariasi, bahkan variasi budaya itu masih tampak sampai sekarang. Variasi budaya itu terwujud terutama pada gejala-gejala lahiriah, seperti bentuk rumah, corak pakaian, jenis-jenis kesenian.
Orang Aceh menghormati dan membanggakan tokoh-tokoh seperti sultan dan para ulamanya, misalnya Sultan Iskandar Muda, ulama besar Syeh Abd. Rauf As Sinkili yang kemudian dikenal pula dengan nama mengemukakan bahwa orang Aceh pada zaman Iskandar Muda sudah berada pada taraf peradaban yang tinggi .
Ahli lain seperti T. Ibrahim Alfian, A. Hasjmy menyatakan bahwa kedua tokoh umara dan ulama tersebut di atas menjadi lambang kekuatan dan kesatuan adat dan hukum Islam di Aceh. Sehubungan dengan itu ada ungkapan yang amat dikenal di kalangan masyarakat Aceh ‘Prihal adat merujuk pada Sultan Iskandar Muda, prihal hukum Islam merujuk pada Syiah Kuala’.
Agama dan adat itu terkait erat satu dengan yang lain, seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keterkaitan ini pun diungkapkan dalam satu pribahasa: ‘Hukum dengan adat seperti zat dengan sifatnya’. Semuanya ini menjadi acuan dasar bagi kehidupan masyarakat Aceh, yang sudah dirintis sejak zaman Kerajaan Islam Peureulak yang berdiri sejak tahun 840 M.
Sejarah Aceh Untuk Indonesia
Kondisi sosial budaya seperti tersebut di atas kemudian terusik oleh kedatangan kolonialis Belanda. Masyarakat Aceh dengan Latar belakang budayanya tadi menyambut kehadiran Belanda dengan jalan perang; suatu perang yang amat melelahkan yang berlangsung selama 30 tahun, antara 1873-1904.
Perang ini dikenal dengan nama Perang Aceh, yang menghabiskan dana dan korban jiwa yang tidak sedikit. Sesungguhnya perlawanan terhadap Belanda itu tidak pernah reda sampai tahun 1942 dengan munculnya gerakan sporadis di sana sini. Perang ini telah melahirkan pahlawan-pahlawan bangsa Indonesia, seperti Teuku Umar, Cut Nya Dien, Panglima Polim, dan lain-lain
Patriotisme yang menyala dalam perang tadi begitu mendalam dan terus bersemi dalam kehidupan masyarakat Aceh sampai pada periode-periode berikutnya. Dengan proklamasi kemerdekaan RI. dan Jepang meninggalkan Indonesia, Belanda tidak pernah lagi masuk ke daerah Aceh seperti yang terjadi di daerah-daerah lain. Dalam masa revolusi fisik, masyarakat Aceh mampu mengorbankan, harta bendanya untuk disumbangkan kepada republik yang masih muda itu . ltulah sebabnya Aceh dijuluki sebagai “Daerah Modal” . Semua itu telah tercatat dalam lembaran sejarah Indonesia.
Latar Belakang Sejarah Sebutan “Serambi Mekah” Aceh